Di tepi buaian larut dalam hambaan satir.
Satu per satu dihitung perlahan.
Sambil menutup mata, sambil bersenandung rendah.
Belaian cahaya bulan dan setitik cahaya bintang.
Temani riuh riang candaan air langit.
Terlelap tapi tak bermimpi.
Dan malaikat tak mau menampakan diri.
Termenung, dalam hati bertarung.
Tak terasa dingin embun semakin mengkungkung.
Melewati begitu saja tanpa makna.
Mungkin membawa se-angkutan dosa.
Kaki melangkah peluh, tenaga tak bersisa.
Kubangan ini terlalu kelam atau lumpurnya terlalu dalam.
Ah...ini hanya alasanku saja yang terlanjur menyelam.
Ya, aku adalah aku yang biasa dan tak terbiasa.
Rupa dan merupa.
Mewujud dalam tembok, lalu bergerak dalam lukisan.
Anehnya dia malah menyata di mata.
Selalu menggangu memahat rindu.
Manusia yang sama dalam bulan peranakan.
Merayu dengan alunan nada menjinakan.
Bawah sadarnya menusuk jantung terlemahkan.
Aku menyerah...!
Belati mematung berlumur darah putih.
Aku tak mengerti, dan tak ada yang mengerti.
Hanya hati.
: Semalam bermain di kenangan.
Jakarta 102017
Satu per satu dihitung perlahan.
Sambil menutup mata, sambil bersenandung rendah.
Belaian cahaya bulan dan setitik cahaya bintang.
Temani riuh riang candaan air langit.
Terlelap tapi tak bermimpi.
Dan malaikat tak mau menampakan diri.
Termenung, dalam hati bertarung.
Tak terasa dingin embun semakin mengkungkung.
Melewati begitu saja tanpa makna.
Mungkin membawa se-angkutan dosa.
Kaki melangkah peluh, tenaga tak bersisa.
Kubangan ini terlalu kelam atau lumpurnya terlalu dalam.
Ah...ini hanya alasanku saja yang terlanjur menyelam.
Ya, aku adalah aku yang biasa dan tak terbiasa.
Rupa dan merupa.
Mewujud dalam tembok, lalu bergerak dalam lukisan.
Anehnya dia malah menyata di mata.
Selalu menggangu memahat rindu.
Manusia yang sama dalam bulan peranakan.
Merayu dengan alunan nada menjinakan.
Bawah sadarnya menusuk jantung terlemahkan.
Aku menyerah...!
Belati mematung berlumur darah putih.
Aku tak mengerti, dan tak ada yang mengerti.
Hanya hati.
: Semalam bermain di kenangan.
Jakarta 102017