Jumat, 27 Oktober 2017

Bulan Peranakan

Di tepi buaian larut dalam hambaan satir.
Satu per satu dihitung perlahan.
Sambil menutup mata, sambil bersenandung rendah.

Belaian cahaya bulan dan setitik cahaya bintang.
Temani riuh riang candaan air langit.
Terlelap tapi tak bermimpi.
Dan malaikat tak mau menampakan diri.

Termenung, dalam hati bertarung.
Tak terasa dingin embun semakin mengkungkung.
Melewati begitu saja tanpa makna.
Mungkin membawa se-angkutan dosa.

Kaki melangkah peluh, tenaga tak bersisa.
Kubangan ini terlalu kelam atau lumpurnya terlalu dalam.
Ah...ini hanya alasanku saja yang terlanjur menyelam.
Ya, aku adalah aku yang biasa dan tak terbiasa.

Rupa dan merupa.
Mewujud dalam tembok, lalu bergerak dalam lukisan.
Anehnya dia malah menyata di mata.
Selalu menggangu memahat rindu.

Manusia yang sama dalam bulan peranakan.
Merayu dengan alunan nada menjinakan.
Bawah sadarnya menusuk jantung terlemahkan.

Aku menyerah...!

Belati mematung berlumur darah putih.
Aku tak mengerti, dan tak ada yang mengerti.
Hanya hati.

: Semalam bermain di kenangan.

Jakarta 102017

Minggu, 01 Oktober 2017

Terhenti Sejenak

Musim berulang kembali, memutar setiap ingatan yang pernah singgah.
Berpijak dalam kubangan kenangan.
Mengajak bercanda bunga yang sesaat tumbuh di musim semi.
Yang kembali layu saat nanti tiba musim gugur.

Menyusuri tapak jalan ini, kembali mengingat metafora masa muda.
Kepompong yang gagal menjadi kupu-kupu.
Bertahan hidup di antara mati dan ketidakpastian.

Mati suri, melihat kupu-kupu muda indah berterbangan mencari madu.
Aku malah memilih berhibernasi.
Berdo'a agar musim dingin satu kali revolusi.
Karena aku malu menemui atau sekedar menyapa mu.

Ada banyak hal yang menjadi penghalang.
Egoisme salah satu yang pasti.

Masih ada sedikit peduli.
Entah itu rindu atau palsu.
Aku tak begitu mengerti kamus wanita mu.
Setahuku, selama ini yang kamu tahu ada aku disetiap kesakitanmu.
Mungkin sampai ini.
Sampai kemudian aku mulai membenci kemunafikan.
Ketakutan yang menahan perasaan.

Kenapa tak biarkan iblis menari?
Sekejam itukah kau, Tuhan?
Berkali-kali aku mengutuk antara takdir dan ciptaanMu.
Walau akhirnya aku paham ini cuma candaanMu.

Aku terhenti, karena hatiku kamu.