Senin, 12 Desember 2016

Sendu Melagu

Hening yang tercipta malam ini, seolah menguak kembali naskah kesendirian.
Menari dalam ruang kosong, tempat kita dulu menciptakan irama.
Tempo mengalun lambat dalam nada yang terkikis.
Semakin melemah, terpencar dalam berbagai arah.
Jari jari yang bergetar, kenangan yang berputar pelan.
Perlahan pesta ini berakhir, dan kamu tahu maaf saja tak akan cukup.
Raja yang bermetamorfosis menjadi benalu.
Aku sadar diri, ini sudah diakhiri.
Lalu untuk apa berusaha memulai lagi.
Entahlah, sebuah tragedi.
Hadir begitu saja, tanpa aku mau. Tiba-tiba saja menghukum semua kesalahan.
Membuat malam sempit, dan matahari terbit sebelum saatnya aku bermanja dengan embun.
Tak bisa berdiri, satu kaki terhisap kubangan pasir.
Aku letih, hampir tak tahu apalagi yang harus dipercayai.

Meranai takdir mengecam satir.
Disudut, sendiri merengut.

Jakarta, pertengahan Desember.
13:12

Sabtu, 29 Oktober 2016

Bau Tanah Akhir Oktober

Mengecap pahit tetesan terakhir saat ampas berpadu pekatnya kopi malam ini.
Bercanpur dengan hembusan terakhir asap yang dihirup terlalu dalam.
Serupa bau tanah saat angin membawa aromanya pergi.
Hilang begitu saja, walau tetap membekas.

Sembari merebahkan lelah dalam ekstrasi kubangan kenangan.
Ah, kenapa tak jadi mimpi saja agar masih bisa sedikit berharap.

Lidah mungkin berkata sudah, tapi ukiran di hati sudah terlalu parah.

Sendu dan melagu. Melengking nada nafsu membunuh.
Kekecewaan atau entah apa namanya.
Padahal ketidak mampuan itu aku yang ciptakan.
Seikat bunga tidur sebagai kumpulan dari janji yang tak tertepati, aku tempatkan disudut kamar busuk ini.
Karena di sini awal setan menari.
Karena di sini awal kita lalu beranjak pergi.

Lullaby, pengantar tepat akhiri hari.
Menunggu besok apa lagi yang akan terjadi.
Mengintip ikatan yang terbuang.
Semua terangkum dalam bayang tangan kecilmu kembali menggenggam spora yang sudah kita tebar.
Menyemai dalam tetesan terakhir gerimis yang jatuh dari mata indah mu.

Faded,
Lelaki pasrah perlahan menghilang.
Akhir oktober.
30:10



Rabu, 12 Oktober 2016

After Rain

Selalu begitu saja kembali.
Mengecap erat ketika rasa menjadi janji.
Dibawah terang sinar lampu jalan.
Sedikit bicara kemudian berkaca.

Tak ingin pulang.
Disini saja, temani sampai ufuk timur menunjukan warnanya.
Lalui gelapnya perjalanan hitam.

Merangkul nafsu setia.
Atau mungkin cinta???
Entah apalah namanya.
Deskripsi seribu halaman pun tak cukup.

Meneguk kenangan masa yang tak ber ulang.
Bau tanah menyerbakan wangi setelah hujan.
Itu terindah.

Karena aku tak pernah menemui bidadari yang katanya turun bersama pelangi.

Karena perikecilnya ada disampingku.

Karena itu harap tak akan hilang selama masih ada tetesan terakhir yang menyentuh bumi.
Menyuburkan lahan tak tertanami.

Salah dan benar cuma sekedar persepsi.
Dan tafsir terbaik adalah milik Sang Pencipta Makna.

Indah, dan masih terindah saat kau datang menemani mimpi siang hari.
Awal Oktober.

Penahan harap, lelaki sedikit waras.
11:10



Minggu, 18 September 2016

Terjebak Harap

Isyarat itu ada, tautan jiwa yang entah apa namanya.
Masih berkisah tentang cerita lama.
Usang? Mungkin, tapi tak akan aku buang.
Rasa itu anugerah.
Dan takdir manusia sudah jelas dituliskan.
Sakit mungkin sudah lenyap.
Dikungkum bayangan senyap.

Harap itu masih aku simpan.
Hanya berubah peran.

Lakon dan cerita berubah mengikuti alur sang sutradara.
Satu yang masih sama.
Ada amarah saat butiran bening menetes dari kelopak mu.
Wanita istimewa yang harus teraniaya dalam peran barunya.

Kembali khayalan syurga menyapa dalam andai.
Sebuah rencana besar yang tak tergapai.
Karena ego, ya bisa saja.
Lebih dari itu, aku akui aku kalah.


Karena tak bisa berhenti berharap, entah sampai kapan.

Berkutat dalam takdir yang tak ber empati.
Lelaki masa lalu.

18:09



Selasa, 23 Agustus 2016

Mencari Jalan Hijrah

Entah apa yang berkutat dalam sel-sel otakku sekarang.
Terlalu banyak persepsi, referensi, dan konklusi sebab akibat.
Membuka lebar luka, berdarah-darah.
Bau amis darah mengharum jiwa yang mengemis.
Tak tau arah, gundah yang berujung amarah.
Ayat-ayat yang tak lagi kupercaya.
Hanya berkelebat sesaat tanpa sudi sejenak singgah.

Mungkin hati sudah beku, atau membatu?
Ah, sama saja.
Lalu untuk apa sekarang aku?

Lingkaran berputar sama, searah jarum jam.
Segaris lurus pergantian raja siang dan ratu malam.

Aku, memilih meng-adakan diri ditengahnya.
Menantang dalam hanyut merahnya senja.
Atau menhambur bersama pagi subuh.

Sekedar mengadu-pun aku malu, sungguh.
Karena sekarang aku bergandeng mesra dengan anak terbuang-Mu.

: terakhir kali aku minta cinta yang tak terbelenggu waktu.
Sedikit saja menyentuh kalbu, tapi akan tetap disitu.

Makhluk sombong di seputaran angkasa.
Akhir mencari kembali.

Pemuda dalam bara api.

23:08

Selasa, 19 April 2016

Time To Left Me Behind

"Sehangat pelukan hujan, saat kau lambaikan tangan. Tenang wajahmu terbaca, inilah waktu yang tepat tuk berpisah."

Sepenggal lirik siang ini, dalam kaitannya dengan mu. Lagi.
Dengan atau tanpa semua yang pernah terjadi.
Dengan atau tanpa kau merasakannya juga.
Dengan atau tanpa tertutup raut muka mu.

Jangan pernah kembali, saat kau sudah raih semua arti mu.
Seumpama gurun yang tak pernah mengharapkan badai salju, hanya gerimis saja.
Aku begitu.

Sudah cukup semua dengan jejak harapan saja, rinduku terpendam.
Atau dengan memandangi langit yang masih menyisakan pendaran senyuman itu.
Lalu, ketika menggelap akan selalu ada sekilas pijar yang mengundangku ke masa lalu.
Saat bulan mengijinkan bintang di sampingnya memadu kasih dengan lamunan.

Cerita baru akan hadir saat pagi bersama mentarinya mengintip dari timur. Awal pijak mu.
Membiaskan yang terbias.
Memudarkan embun sisa semalam.
Menyadarkan dan it's time to left me behind.



"Ku akan pahami cinta dengan apa yang terjadi."

Sepenggal lirik untuk melanjutkan ceritaku.

: Lelaki muda dengan kaitan masa lalu
 Jakarta 19:04