Senin, 21 Desember 2015

Senandung Lirih

Alunan lagu itu begitu terngiang, saat pagi ini senandung mu kembali sadarkan ku bahwa kau masih ada.
Tapi bukan untuk kenangan yang sudah kau ukir dalam guratan otakku.
Mencoba mengais sedikit demi sedikit asa.
Lalu merangkumnya lagi.
Cerita yang kini mati, rasa yang sudah tiada.
Membekas dan berkarat.

Kemudian yang tergambar hanya dawai dan lagu yang kita nyanyikan bersama.
Guratan gambar yang kita ukir berdua.
Dan jalanan yang kita tapaki dengan tawa saat mencari debur ombak dan pasir putih.

Kau tau?
Malam ini lebih dingin dari malam sebelumnya.
Sedih ini lebih berderai dari sebelumnya.
Dan sakit ini lebih berdarah dari sebelumnya.

Entah apa yang kutangisi, penyesalan atau kenangan atau mungkin juga cinta yang masih banyak tersisa.
Tapi sepertinya aku lebih memilih memeluk bantal dipojokan kamar.
Aku butuh kehangatannya.
Karena saat seperti ini semua orang akan bilang bahwa cinta akan mudah dicari lagi.
Iya, tapi bukan kau.

Dan mimpi pun kemudian menjemput, mengajakku bersenandung lagi.
Lirih, nadanya menyatu bersama sepoian angin selepas hujan malam ini.
Aku dan kamu menari, tapi hanya di hamparan khayal akal tak sehat ku.
Kata mu...

Penantian menanti, dan itupun mustahil pasti.
Tapi kau tau, ketika kau ingin kembali hati mana yang harus kau cari.
Hahahaha..derita lelaki setia.

Jakarta, 22:12
13:16 am.

Minggu, 13 Desember 2015

De Javu ( Berlalu kembali)

Seperti bias kaca yang terpendar saat helaan embun nafas mu membasahinya, dengan atau pun tanpa dingin hujan sore ini.
Gerimisnya tak lagi nampak, mendungnya pun semakin pekat.

Sesosok dengan tatapan kosong - walau aku tau, dulu tajam matanya berbicara, dan senyumnya membuat aku menggila.
Terduduk mengigil terdiam.
Memeluk kaki berkaca-kaca.
Jalan itu pernah kita lalui.
Menyibak anggun rambut sang air langit.
Bercanda dengan kelakar badai.
Memegang erat gengam sang takdir.
Kau menanti ku, dan aku menunggu mu.
Lorong gelap ujung jalan buntu itu kini sinis.
Meringis saat lembayung senja raut mu menangis.
Aku pernah menunggangi mimpi, menantang fajar untuk tinggal diam.
Agar lebih lama kita menghitung bintang yang menghampar.

Hangat, hanya aku rasa saat itu.
Entah, kau!

Jalanan basah dan bau tanah ini akan mengering dalam buku lusuh penantian pajang.
Kemudian menghilang bersama jejak kecil yang berlarian ke arah surau mu. Yang menanti di sana sang guru di singgasana kebesaranNya.

Kembali, lengkung kan bibir indahmu. Jangan biarkan aku menjadi kristalan perasaan disudut sinar indah bola hitam putihmu.
Angan agar harap itu tak pernah lelap.
Letakkan semua dibahuku.

Setelah kau menghilang, kau akan hanya melupakan ku satu kali tapi, aku telah melupakanmu ribuan kali.

Sampai sang lingkar jingga menyapa untuk terakhir, meninggalkan bara asap, dan suguhan air pekat hangat yang tetap setia.

Kian, rendahkan suaramu karena ceritanya tak akan sama.
Skenario sudah dirubah. Kisah mu.


Keluh yang rapuh, diiringi dawai lagu.
Forgotten!
Dalam hisapan terakhir kenangan yang terkikir de javu.
Hampir satu dasawarsa lalu.

Ruang cerita masa muda, 13:16 am.

Jakarta, 13:12






Selasa, 01 Desember 2015

Nisan dan Melati

Tak banyak yang akan aku tuliskan saat ini.
Mungkin hanya satu rasa, dendam. Entah pada siapa.
Pada embun yang meninggalkan ku pagi ini saat mentari-Nya menjemput?
Atau pada mawar yang merekah lebih lama.
Dan karena merahnya dia meninggalkan kesan yang lebih dalam walau kau sadar di tiap batangnya duri itu terus mengintai yang lalai.

Bahkan ketika suara saat ba'da subuh itu bergema pun sangat ingin aku tutup telinga. Kau tahu mengapa? Karena kabar yang datang hanya kematian.

Ibu-ibu dan tukang sayur berkumpul dan kembali membicarakan asal dan sebab kematian itu.
Tanpa terdengar sekalipun mereka memperdulikan ratusan bahkan jutaan asal dan sebab bayi-bayi disekeliling kita dilahirkan.

Untuk apa mereka ada? Mengapa mereka lahir?! Tanyaku pada kumbang.
Tanya Tuhan mu!
Sial, jawaban tak bermutu, dendamku bertambah satu.

Ada apa setelah mati? Apakah kita akan hidup kembali? Atau malah kita pernah hidup sebelum ini?
Tapi satu yang aku yakini, bahkan saat setelah mati suatu saat nanti jiwa kita akan tetap utuh.
Lalu yang akan kita warisi adalah tentang kenangan, hanya itu yang takkan lusuh.

Aku ingin wangiku terus kau hirup, aku ingin putihku tetap menyelimuti, dan aku ingin kau!
Embun yang tak pernah pergi lagi.

Bercengkrama dalam sinar lembayung, senja di pagi ini. Menikmati sisa-sisa dinginnya malam tadi.
Lalu merangkul hari kembali menuju mimpi.

Kali ini mimpi itu panjang, hingga aku bebas dari rasa sakit, dan rasa takut.

Dan yang membuat takdir itu indah dan nikmat adalah misteri.

: Move on, Be brave, Don't weep on my grave.

Lalu melatiku kembali, terbang menemani peri.

Lelaki muda lelah menanti.

: di bayangan  sendiri

Tomang 01:12