Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat saya masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama.
Waktu itu Guru Pelajaran Agama pernah bilang kalau salah satu binatang yang tidak boleh dibunuh tanpa alasan adalah semut.
Sekitar 9 bulan kemarin saya teringat kata-kata guru saya itu. Penasaran saya membuat saya ingin tahu kenapa harus semut. Mengapa tidak harimau atau gajah yang dengan badannya yang besar itu lebih mencolok untuk diperhatikan. Bukannya semut yang saya pikir dahulu hanya binatang kecil sebagai pelengkap kehidupan dan rantai makanan yang ada.
Singkat cerita di kantor saya bekerja saya melihat banyak semut berkeliaran. Setiap hari saya perhatikan
ada dua ekor semut yang sangat menarik perhatian. Awal saya perhatikan mereka layaknya semut biasa.
Yang membedakan hanya semut hitam dan putih tersebut terlihat lebih muda dari sekelilingnya.
Sang semut hitam berjalan agak lambat tetapi dia berada di jalur sedikit lebih di atas dari semut putih yang berjalan cepat di bawahnya.
Hari-hari sang semut hitam hanya duduk diam dan sewaktu-waktu berjalan keluar dari kerumunan sedangkan sang semut putih lebih sering berada di barisan belakang kerumunan sesekali memunguti sisa-sisa makanan yang terjatuh dari rombongan di depannya.
Semut hitam walaupun terlihat pendiam awalnya ternyata lebih jail dari perkiraan saya.
Saat dia berjalan menuju kerumunan untuk bekerja, dia sering berada di belakang tapi lebih di depan si putih.
Terkadang dia berjalan lambat sengaja untuk menghalangi si putih yang sedang bekerja.
Cacahan biskuit atau pinggiran daun yang kering yang terbuang dari kerumunan sering si hitam ambil tapi kemudian dia buang lagi saat si putih terlihat sudah kelelahan.
Hal tersebut mungkin membuat si putih marah. Sering saya lihat si putih menarik antena si hitam dari belakang, atau sekedar menggigit kecil pantat si hitam yang montok.
Hahaha..saya hanya tertawa kecil dengan tingkah tersebut.
Sampai suatu malam saya melihat ada hal yang janggal. Si hitam dan putih yang berbeda golongan sering berjabat tangan. Saking seringnya seperti mereka itu adalah saudara atau semacam kakak beradik yang berbeda warna. Tapi itu tidak mungkin terjadi karena di ilmu biologi yang selama ini saya pelajari tidak ada percampuran gen semacam itu.
Anehnya si hitam dan putih punya kebiasaan yang sama. Mereka suka berlari-larian dan terkadang bermain lompatan bersama. Walaupun sangat kental irama pertandingannya dalam penglihatan saya.
Si hitam lebih sering berdiri di belakang menghalangi si putih yang mencoba berlari melewatinya. Trik curang layaknya para pejabat pun sering terlihat. Tapi di akhir pertandingan saat waktu untuk mencari makan tiba mereka selalu berjabat tangan, dan tertawa bersama. Mereka melupakan semua yang hal-hal tidak baik saat pertandingan tersebut.
Hari selanjutnya saya memperhatikan saat jam makan tiba, si hitam dan putih terlihat berlari sekencang-kencangnya menuju gula yang tersedia. Mereka selalu memilih gula pertama untuk dimakan. Si hitam lebih sering mendapatkan bagian gulanya terlebih dahulu. Si putih yang lebih sering kalah berlari selalu mengalah. Kadang saya melihat semut merah dari kerumunan meledek mereka. "Untuk apa kalian berlari, toh gula tersebut masih banyak. Masih cukup bahkan berlebih untuk golongan kita."
Sang merah tidak mengetahui kalau mereka mendapatkan yang ke dua atau ke tiga maka yang mendapat gula pertamalah yang sudah menginjak gula tersebut untuk gula pertama yang masih steril. Tanpa kuman atau virus lainnya.
Walaupun satu butir gula untuk satu kali makan sangat berlebih bagi seekor semut tapi terkadang sang hitam tidak mau membagi nya pada si putih. Si putih yang kesal kadang melampiaskannya dengan tidak membuang sisa-sisa gula yang tercecer. Si hitam yang jail pun sering bertingkah saat pemimpin si putih datang. "Pak, lihat
ceceran gula saya tidak di bersihkan oleh putih." Sang pemimpin pun melotot. "Maaf, Pak. Hitam itu berbohong. Saya membersihkannya. Coba bapak perhatikan sekali lagi," ujar putih yang padahal membersihkan dengan tergesa-gesa ceceran tersebut sesaat sebelum pimpinannya datang.
Walau terlihat saling bertengkar saya melihat keesokan harinya mereka kembali bermain bersama dan melakukan hal-hal jail tersebut lagi. Tidak ada sedikitpun tergambar muka dendam ada marah yang tak termaafkan dari mimik muka mereka.
Si Hitam dan Putih selain makan gula mereka juga sangat suka dengan daun pete cina, yang dimakan juga oleh kerumunan semut merah. Tapi sedikit berbeda mereka lebih memilih daun yang hijau dan sedikit layu. Bukan yang cokelat dan keras seperti makanan semut merah.
Sampai waktu malam tiba saat mereka harus tertidur untuk esok hari, si putih dan hitam masih berjalan beriringan.
Keesokan harinya saya mendengar dari penjaga kerumunan semut bahwa si putih akan dipindahkan di lubang yang lain.
Hitam terlihat sedikit sedih, dia berkata pada putih. "Ehm, mungkin gak kita masih bisa berbagi daun yang sama? Atau kembali berebut gula lagi untuk sebagian saya bagi ke kamu?" tanya si hitam.
Putih hanya terdiam.
"Atau begini saja, bagaimana kalau kita, aku dan kamu berganti warna menjadi abu-abu? Supaya kita sama!"
tanya hitam kemudian.
"Itu tidak mungkin." "Aku harus menjadi dewasa dulu untuk melakukan hal tersebut."
Hitam yang kecewa pun ikut terdiam.
Hening..
Saya pun ikut dalam suasana itu. Ikut merasakan keheningan.
Merasakan akan berakhirnya ketulusan suatu persahabatan yang terlihat aneh.
Mungkin esok hari saya akan melihat lagi tingkah mereka. Tapi dalam keadaan terpisah.
Mungkin juga Hitam akan menemukan Putih yang lainnya.
Yang memberinya sesuatu yang sangat sederhana tapi sulit didapat.
Ketulusan dan kebahagiaan dalam ketiadaan.
6:12